Musyawarah Buku Bangsa Pelaut, Wenri Wanhar: Sabak Masa Lalu Pusat Peradaban Dunia

Table of Contents
Wenri Wanhar (kiri) dalam Musyawarah Buku Bangsa Pelaut, di Kota Jambi, Selasa (29/5/2025)

JAMBI - Nama Zabak muncul dalam berbagai berita Arab abad ke-9, yang dituliskan oleh para petualang dari Timur Tengah. Wenri Wanhar mencoba menelusuri kisah itu, untuk mencari tahu di mana tempat yang dipimpin Maharaja itu berada.

Melalui petualangan yang panjang, Wenri kemudian menyimpulkan Zabak itu mengacu pada wilayah yang kini bernama Sabak, yang berada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi.

Pada tulisan petualang Ibn Hordadzbeh, raja Zabag merupakan sosok yang sangat kaya. Daerahnya memiliki sumber daya alam yang melimpah. Emas yang dimiliki sangat banyak. Kekuasaannya cukup luas.

"Di dalam naskah-naskah kuno Arab juga ada disinggung Gunung Zabak. Ketika kami ke sana, alangkah terkejutnya melihat bebatuan andesit yang melimpah di sana," kata Wenri Wanhar, penulis Buku Bangsa Pelaut, Selasa (29/4/2025), dalam acara musyawarah buku yang digelar di Jambi.

Bukti adanya Gunung Zabak ditemukan di Tanjung Batu, Parit Culum, Muara Sabak. Gunung itu kini tak lagi terlihat usai pecah. "Pernah dikaji akademisi UGM, dan membuktikan ada gunung di Sabak meletus pecah," ungkapnya.

Melihat realita ini, ditambah catatan dari Arab yang menyebut Gunung Zabak berada di bibir pulau, membuatnya makin percaya atas fakta keberadaan Zabak di daerah yang kini masuk wilayah Jambi.

Berdasarkan catatan kuno dari Tiongkok dan Arab, disebutkan Zabak merupakan pusat peradaban dan kebudayaan dunia masa lampau. Pada berbagai catatan bangsa Arab, disebutkan  Zabak letaknya berhadapan dengan negeri Cina, jarak antara keduanya ditempuh dalam satu bulan pelayaran, atau kurang sebulan bila tiupan angin musim membantu.

Kisah tentang Zabak ini bisa dinikmati dalam Buku Bangsa Pelaut: Kisah Setua Waktu, yang ditulis oleh Wenri Wanhar. Dia menggunakan pendekatan jurnalistik dalam menulis karya sejarah ini.

Sinopsis Bangsa Pelaut

Buku Bangsa Pelaut terdiri dari tiga bagian utama: Satu Babak Sejarah Sabak, Serat Dua Samudra, dan Tuah Negara Ketiga. Buku ini setebal 390 halaman. Pada bagian awal Wenri membongkar fakta tentang Sabak, yang diyakininya sebagai pusat peradaban Hindia Kuno di Muaro Sabak, Jambi.

Menggunakan pendekatan jurnalistik dan ilmu nautika, Wenri menyusuri jejak-jejak lama peradaban Sungai Batanghari. “Sabak adalah pusat budaya dunia pada masa ketika sungai dan lautan menjadi jalan raya dan gelanggang kehidupan,” tulis Wenri dalam bukunya.

Uniknya, Sabak yang dahulu terkenal dalam manuskrip Arab kini terlupakan dalam arus sejarah modern. Catatan Abu Ali Ahmad bin Rusta pada abad ke-10 menyebut Raja Sabak sebagai maharaja terbesar di Hindia kala itu.

Tak hanya mengandalkan literatur klasik dan arkeologi, Wenri menelusuri tapak peradaban di sekitar Muaro Sabak hingga Muaro Jambi. Ia juga mencatat bukti alamiah berupa migrasi burung setiap tahun ke Pantai Cemara.

“Saya temukan fakta bahwa arus dan angin dunia bertemu di Sabak. Itu menjadikannya magnet alamiah dunia sejak lama,” tulis Wenri, mengutip pengalamannya bersama Capt. Gita Ardjakusuma, nakhoda legendaris kapal Phinisi Nusantara.

Dalam bab Serat Dua Samudra, Wenri mengungkap makna kata ‘Samudra’ sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia. Samudra berasal dari Sa dan Mudra, yang berarti keselarasan total antara manusia dan alam semesta.

Bangsa Samudra, menurutnya, adalah leluhur Indonesia yang membangun peradaban lewat keselarasan jiwa dan raga. “Di masa itu, bangsa ini kaya dan saintifik, karena berakar pada akal budi,” kata Wenri. 

Bagian akhir buku mengulas posisi strategis Indonesia sebagai negara ketiga yang merdeka pasca-Perang Dunia II. Presiden Soekarno bahkan mengajak rakyat Indonesia kembali menjadi bangsa pelaut sejati, dalam makna militer dan niaga.

“Jangan hanya jadi jongos kapal! Jadilah bangsa pelaut dalam arti cakrawati samudera,” seru Bung Karno dalam pidato tahun 1953 yang dikutip dalam buku ini.

Buku ini mendapat pengantar dari Assoc. Prof. Dr. Ali Akbar, Ketua Prodi Arkeologi Pascasarjana UI. Ia menyebut buku ini sebagai karya ilmiah yang kaya sumber langka dan hasil investigasi lapangan. (*)

Editor: Suang Sitanggang


Post a Comment